Rabu, 21 Oktober 2020

Mengenali seseorang yang meminangnya

 Alhamdulillah

.

*Bagaimana Cara Mengenali Seseorang Yang Meminangnya ?*


Pertanyaan


*Seorang pemuda muslim yang sedang belajar di luar negeri ingin menikah dan mencari seorang istri yang sholihah sesuai dengan level keilmuannya. Kedua orang tua saya sedang mencarikan dan mendapatkan yang sesuai dengan kreteria saya, tapi masalahnya dia sekarang berada di negara asal saya, sedangkan saya berada di luar negeri jadi saya tidak bisa mengenali agamanya, akhlak dan kecantikannya. Saya ingin menanyakan sesuatu kepadanya melalui internet namun dia menolak, semua yang dia lakukan diberitahukan kepada keluarganya, diapun memberi saya nomor telpon bapaknya dan berkata: “Masuklah rumah melalui pintunya”. Dengan semua ini menjadikan saya tambah merasa ketergantungan kepadanya, sampai saat ini saya tidak mengetahui bahkan wajahnya pun tidak. Saya meghubungi bapaknya ternyata beliuanya lebih keras penjagaannya dari pada dia, beliau berkata: “Kamu sedang di luar negeri, mintalah kepada kedua orang tuamu untuk datang ke sini agar kami mengenalnya dan sekembalinya kamu pada akhir tahun, datanglah juga ke sini untuk proses nadzor (melihat) dia pun bisa melihatmu, namun hal itu setelah pembicaraan dengan kedua orang tuamu. Saya tidak akan mengizinkanmu untuk menanyakan tentang saya dan keluarga saya sebelum kedua orang tuamu datang ke sini. Subhanallah, bagaimana beliau meminta saya dan kedua orang tua saya, sedangkan saya tidak mengenal mereka sama sekali ?, apakah yang demikian itu termasuk bagian dari yang disyari’atkan ?, bagaimanakah jalan keluarnya ?, berilah kami petunjuk semoga Allah memberikan keberkahan kepada anda. Bagaimana mungkin saya akan mengenalnya secara syar’i, apalagi jika saya tidak mengetahui orang-orang sholeh yang mengenal mereka dengan baik ?, apa saja sebaiknya yang harus diketahui oleh seorang pemuda dari calon pinangannya sebelum prosesi meminang ?, dan apakah mungkin seseorang meminangnya padahal sebelumnya dia tidak mengenalnya sama sekali ?, dan memulai untuk mengenalinya setelah proses meminang selesai ?, apakah mungkin seorang pemuda meminang wanita yang belum pernah dilihatnya ?, semua informasi mengenai dia yang saya paparkan di atas apakah sudah cukup sebagai bekal untuk meminangnya ?, Mohon maaf sebelumnya karena uraiannya panjang, namun keadaan saya berbeda dan memerlukan rincian.*

.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.


*Semoga Allah –Ta’ala- memudahkan anda untuk mendapatkan istri yang sholihah  yang menjadikan anda cenderung dan merasa tentram kepadanya dan menjadikannya sebagai penyejuk hati anda. Yang dapat kami tangkap dari pertanyaan anda bahwa keluarga wanita tersebut adalah keluarga yang menjaga kehormatannya yang menjaga anak-anak perempuannya, hal tersebut nampak jelas dengan penolakan dari wanita tersebut untuk berkomunikasi langsung dengan anda dan bersikeras agar pembicaraan dilakukan melalui bapaknya, kemudian diapun memberitahu hal itu kepada bapaknya. Sikap bapaknya juga menunjukkan sikap yang benar pada saat mengatakan kepada anda bahwa pada saat kedua orang tua anda datang maka proses ta’aruf antara kedua keluarga sudah selesai, maka pada saat itulah anda harus melihatnya dan meminangnya jika anda mau, ini adalah sikap yang benar; karena proses nadzor kepada tunangan itu dibolehkan oleh syari’at bagi seseorang yang mau melamarnya dan besar kemungkinannya pinangannya diterima.*

.

al Allamah ‘Izz Abdus Salam –rahimahullah- dalam kitabnya “Qawa’id al Ahkam fi Mashalihul Anam” (2/146), beliua berbicara tentang proses nadzor kepada wanita pinangan: *“Dibolehkannya nadzor (melihat) bagi seseorang yang berharap dengan sangat agar pinangannya diterima, bukan untuk seseorang yang mengetahui bahwa pinangannya tidak diterima, atau besar kemungkinannya tidak diterima”*


*Sedangkan untuk mengenali keluarga seorang wanita, bisa dilakukan dengan meminta bantuan kepada bapak anda untuk mencari tahu tentang mereka, hanya bertanya tentang mereka dan memusyawarahkannya sebelum anda datang meminang anak perempuan mereka tidaklah haram menurut syari’at, maka larangan bapaknya tidak akan menghalangi anda untuk mencari tahu tentang mereka; karena semua pembicaraan dalam masalah ini meskipun tentang sesuatu yang mereka benci, bukanlah termasuk ghibah yang diharamkan.*

.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dalam Fatawa Kubro (4/477) telah berbicara tentang ghibah yang dibolehkan dan tidak ada perdebatan di antara para ulama: *“Point yang kedua: Ketika seseorang dimintai pendapat dalam hal pernikahan, mu’amalah dan diminta sebagai saksi, sedangkan dia mengetahui bahwa dirinya tidak mampu akan hal itu, maka hendaknya orang yang meminta pendapatnya agar menasehatinya dengan menjelaskan keadaan sebenarnya”*


*Sedangkan bagaimana cara anda dapat mengenali calon pinangan anda sesuai dengan syari’at ?, maka dibolehkan bagi anda sebagaimana yang kami katakan yaitu mencari tahu tentangnya, dibolehkan juga melihatnya jika anda mau meminangnya, dan jika tidak mungkin melihatnya, sebaiknya anda mengirimkan salah satu wanita yang menjadi mahram anda agar melihatnya lalu menjelaskan sifat-sifatnya kepada anda. Sebaiknya melihatnya atau utusan anda yang melihatnya dilakukan sebelum proses pertunangan dilakukan, agar nantinya menjadi jelas apakah anda melanjutkan atau mundur; karena melihatnya setelah proses pertunangan bisa jadi akan menggagalkan pernikahan dan yang demikian itu akan mengecewakannya dan keluarganya. Menurut hemat kami bahwa keluarga tersebut tidaklah menolak jika ditanya tentang keadaannya dan untuk melihat anak perempuannya jika memang sudah jelas bahwa anda serius untuk meminangnya, maka sebaiknya anda melakukan apa yang diminta oleh bapaknya gadis tersebut, kemudian anda melakukan shalat istikhoroh maka Dia (Allah) akan mentakdirkan kebaikan bagi anda insya Allah.*


*Adapun apa saja muwashofat (kreteria) yang sebaiknya ada pada diri gadis yang akan menjadi seorang istri adalah sebagaimana petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada setiap muslim yang akan menikah agar berusaha mendapatkannya, beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut:*

*

1. Hendaknya ia baik agamanya, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :*


تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَلِجَمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ  


رواه البخاري 4802 ومسلم 1466


*“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, nasab, kecantikan dan karena agamanya. Maka beruntunglah anda dengan yang baik agamanya, maka kedua tanganmu akan beristirahat”* (HR. Bukhori: 4802 dan Muslim: 1466)


*Yaitu; bagi siapa saja yang mau menikah dan salah satu dari keempat sifat tersebut menjadi daya tarik bagi setiap laki-laki, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruhnya agar janganlah merubah pilihannya dari yang baik agamanya kepada kreteria yang lainnya.*


*2. Hendaknya dia adalah wanita yang subur, berdasarkan hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam*


تزوجوا الودود , الولود , فإني مكاثر بكم الأمم 


رواه أبو داود (2050) وصححه الألباني في صحيح أبي داود


*“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang, subur; karena sungguh saya akan bangga dengan jumlah kalian yang banyak”* (HR. Abu Daud: 2050 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Abu Daud)


*Seorang gadis perawaan bisa diketahui subur atau tidaknya jika ia berasal dari keluarga yang wanitanya banyak anaknya.*


*3. Hendaknya dia adalah seorang yang masih perawan, berdasarkan sebuah hadits:*


فهلا بكرا تلاعبها وتلاعبك 


رواه البخاري 5052


*“Kenapa tidak menikah dengan seorang gadis yang masih perawan, maka kamu akan mencumbunya dan dia pun akan mencumbumu”* (HR. Bukhori: 5052)

.

*4. Hendaknya dia berasal dari keturunan yang baik-baik*


*5. Hendaknya dia cantik; karena akan menjadikan hati suaminya merasa  tenang, lebih bisa menahan pandangannya dan lebih, oleh karenanya disyari’atkan nadzor (melihat) sebelum terjadinya akad nikah.h


*6. Hendaknya dia adalah wanita yang cerdas dan menjauhi tindakan bodoh; karena pernikahan itu tujuannya pergaulan yang berlangsung lama; tidaklah pantas bergaul bersama orang-orang yang bodoh, hidup bersamanya pun tidak akan menjadi baik yang kemungkinannya akan menular kepada anaknya.*


*Sebagai penutup dari jawaban ini, kami tidak lupa untuk memperingatkan anda akan bahayanya berkomunikasi dengan banyak wanita yang bukan mahramnya melalui internet atau melalui sarana komunikasi lain, karena hal itu termasuk langkah yang akan menyebabkan tindakan yang tidak terpuji, maka berhati-hatilah dari semua bentuk tipu daya syetan, semoga Allah –Ta’ala- memberikan taufiq-Nya kepada kita semua sesuai dengan yang Dia cintai dan Dia ridhoi.*


Wallahu a’lam

.

*Antara Kebiasaan dan Ibadah*


Pertanyaan


*Apakah ada cara untuk menangani masalah kebiasaan, yaitu; saya merasa khusu’ sekali pada saat membaca surat tertentu, setelah berlalu beberapa hari kekhusu’an itu mulai melemah dan seakan hati saya sudah terbiasa dengan memahami makna dan mentadabburinya dan sudah merasa cukup, demikian juga pada saat berdoa dengan beberapa doa, maka apakah ada solusi dari hal ini ?*

.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.


*Pertama:*


*Kata “Al ‘Aadah” (kebiasaan) mempunyai makna yang netral, termasuk dalam kebaikan jika manusia membiasakan diri dengan kebaikan, dan menjadi paten prilaku manusia tersebut tanpa ada paksaan, telah disebutkan di dalam hadits:*


الْخَيْرُ عَادَةٌ ، وَالشَّرُّ لَجَاجَةٌ


 رواه "ابن ماجه" (221) ، و"ابن حبان" في "صحيحه" (310) .


*“Kebaikan adalah kebiasaan, dan keburukan adalah keras kepala”* (HR. Ibnu Majah: 221 dan Ibnu Hibban di dalam Shahihnya: 310)


*Dari ‘Aisyah bahwa ia berkata:*


 كَانَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَصِيرٌ، وَكَانَ يُحَجِّرُهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيُصَلِّي فِيهِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ، وَيَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ، فَثَابُوا ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقَالَ:  يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ قَلَّ  وَكَانَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَمِلُوا عَمَلًا أَثْبَتُوهُ


 رواه البخاري(5861) ، مسلم(782).


*“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempunyai tikar, dan pada sebagian malam beliau gulung untuk dipakai shalat di atasnya, dan orang-orang melaksanakan shalat dengan shalat beliau, dan beliau menggelarnya pada siang hari, dan pada suatu malam mereka semua berkumpul, seraya beliau bersabda: “Wahai manusia, hendaknya kalian melakukan amal sesuai dengan kemampuan kalian, karena Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan, dan sungguh amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit”, dan keluarga Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika mereka mengerjakan suatu amal mereka menetapkannya”* (HR. Bukhori: 5861 dan Muslim: 782)


*Dan sebagaimana Abu Thayib berkata: “Setiap  itu sesuai dengan kebiasaannya sepanjang waktu”.*


*Dan seperti yang diketahui bahwa di antara sebab istiqamahnya seorang hamba pada jalan menuju Allah adalah hendaknya ia mempunyai ketaatan yang selalu dilaksanakan dan dijaganya dan membiasakannya, tidak mengabaikan dan tidak meremehkannya, dan tidak malas, begitulah amalan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- “daimah” (selalu), paten dan terus-menerus, dan keluarga beliau jika mereka melakukan amalan mereka mentetapkannya.*


*Kedua:*


*Adapun “Al ‘Aadah” yang berarti bahwa manusia merasa sedang tidak beribadah, maka ia melakukannya dengan otomatis tidak ada ruhnya, maka hal itu bahaya dan sebaiknya sebagai manusia hendaknya memperhatikannya.*


*Karena pahala itu diberikan pada ibadah yang ada kehadiran hati di dalamnya,* sebagaimana firman Allah Ta’ala:


قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ  المؤمنون/ 1- 2 .


*“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya”* (QS. Al Mukminun: 1-2)


*Dan yang terpenting adalah kehadiran hati dalam beribadah tidak lalai darinya.*


Syeikh Ibnu Baz –rahimahullah- pernah ditanya:


*“Saya pernah membaca nasehat di salah satu buku, yaitu; hendaknya janganlah menjadikan ibadah kepada Allah menjadi kebiasaan, bagaimana seorang muslim menjadikan ibadah kepada Allah sebagai ibadah bukan sebagai kebiasan yang biasa ia lakukan, semoga Allah membalas kebaikan Anda dengan kebaikan”*


Beliau menjawab:


*“Maksudnya adalah janganlah shalat itu dijadikan “Aadah” (kebiasaan), tapi lakukanlah karena “qurbah” (mendekatkan diri kepada Allah), hal itu bukan karena menjadi sebuah kebiasaan. Jika anda shalat dhuha maka kerjakanlah karena untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan karena kebiasaan, demikian juga jika anda shalat tahajjud pada malam hari, anda melakukannya karena mendekatkan diri kepada Allah; karena hal itu termasuk ketaatan, bukan hanya sekedar kebiasaan, atau karena ayah dan ibumu melakukannya”*


https://bit.ly/3dZDaDs


*Ketiga:*


*Di antara cara untuk menjadikan hati itu hadir di dalam ibadah adalah:*


*Melakukan ibadah yang bermacam-macam (tidak monoton), dari mulai shalat, membaca Al Qur’an, berdzikir, bersedekah, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahim, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah. Dan termasuk bagian dari rahmat Allah dan karunia-Nya ibadah itu jumlahnya banyak dan bermacam-macam*

.

*Sabar dengan hadirnya hati pada saat beramal*

Ibnu Qayyim berkata di dalam ‘Iddatus Shabirin:*“Sabar saat beramal: jadi seorang hamba hendaknya berkomitmen untuk sabar dari alasan-alasan meremehkan dan mengabaikan, dan berkomitmen untuk sabar mengiringinya dengan mengingat niat, dan hadirnya hati di hadapan Dzat yang disembah, dan tidak melupakan-Nya dengan urusan-Nya.*


*Maka inilah ibadahnya para hamba yang ikhlas kepada Allah, ia membutuhkan kesabaran untuk menyempurnakan hak ibadah, dengan melaksanakan ibadahnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang diwajibkan, dan sunnah-sunnahnya, dan untuk sabar untuk mengirinya dengan menyebut Dzat yang disembah di dalamnya, dan tidak lalai dari-Nya saat beribadah, maka jangan sampai terhenti kehadirannya di hadapan Allah dengan hatinya untuk melaksanakan ibadah dengan anggota tubuhnya, dan jangan sampai terhenti kehadiran hatinya di hadapan Allah karena gerakan ibadah dengan anggota tubuhnya”.*


*Bersungguh-sungguh dalam berdoa

Bahwa di antara sebab yang bisa membantu untuk menghadirkan kebersamaan Allah dan pertolongan-Nya adalah doa*


*Tidak meninggalkan amal*

*Karena hal itu menjadi sarana syetan untuk menahan manusia dari amal karena ketidakhadiran hati, maka seorang mukmin hendaknya waspada, dan hedaknya terus beramal.*


*Bersiap dan bersiaga untuk beribadah dan menjauhi hal-hal yang bisa melalaikan hati*

Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:


لا يُصلَّى بحَضْرِةِ الطَّعام ، ولا وهو يُدافِعُهُ الأخبَثان    رواه "أبو داود" (89).


*“Tidak (sempuna) shalat di hadapan makanan, dan karena ia terdorong untuk buang air kecil dan besar”* (HR. Abu Daud: 89)


Baca juga untuk manfaat yang lebih luas:


https://bit.ly/3dZFpXo


Wallahu A’lam

.

*Memisahkan Istrinya Dari Tempat Tidur Selama Lima Bulan Berturut-Turut*

.

Pertanyaan


*Bagaimana hukumnya jika suami menjauhi istrinya dari tempat tidur selama lima bulan berturut-turut ?*

.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.


*Pertama:*


*Tidak dibolehkan bagi suami memisahkan istrinya dari tempat tidur selama waktu tersebut. Kecuali jika istri melakukan pembangkangan, atau melakukan kemaksiatan kepada suaminya dengan tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri, maka pada saat itu dibolehkan memisahkannya dari tempat tidur sampai dia bertaubat, sebagaimana firman Allah Ta’ala :*


وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا 


سورة النساء: 34


*“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan   pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”* (QS An Nisaa: 34)


*Apabila cara semacam ini tidak berhasil dilakukan oleh suami untuk mengobati pembangkangan istrinya,  maka dia boleh memilih mediator yang bijaksana dari kalangan keluarganya, dan istri pun memilih mediator yang bijak dari keluarganya, agar keduanya bisa menyelesaikan masalah, dan memberikan putusan yang bijaksana dalam masalah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala :*


وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا


سورة النساء: 35


*“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”* (QS An Nisaa: 35)


*Adapun jika tidak disertai pembangkangan, maka memisahkan istri semacam ini tidak dihalalkan karena dua hal:*


*Pertama: Wajib atas suami menjaga kehormatan istrinya, dan agar memenuhi kebutuhan biologisnya selama dia membutuhkannya dan sebatas kemampuannya sebagai suami.*


*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ditanya tentang suami yang bersabar atas istrinya selama sebulan atau dua bulan tidak berhubungan biologis dengannya, apakah dia berdosa ataukah tidak? dan apakah suami bisa dituntut karena hal tersebut?*


*Beliau menjawab, “Wajib atas suami memenuhi hajat biologis istrinya secara baik. Hal itu merupakan hak istri paling mendesak yang harus dipenuhi oleh suami. Bahkan lebih utama dari memberinya asupan makanan. Hubungan biologis hukumnya wajib. Ada yang mengatakan bahwa hal itu wajib dilakukan setiap empat bulan sekali. Yang lain lagi mengatakan, sesuai kebutuhan istri untuk itu dan sejauh kemampuan suami untuk melayaninya. Sebagaimana halnya memberi asupan makanan yaitu seberapa banyak kebutuhan istri dan sejauh kemampuan suami untuk memenuhinya. Pendapat terakhir ini pendapat yang paling benar dari dua pendapat sebelumnya.”* (Majmu al Fatawa, 32/271).


*Kedua: Suami yang enggan memenuhi hajat biologis istrinya –yang tidak durhaka– selama empat bulan, sikapnya dapat diadukan kepengadilan agama. Lalu dia akan diperintahkan untuk menggauli istrinya atau menceraikannya. Jika dia enggan menceraikannya maka hakimlah yang akan menceraikannya.*


Ulama Al-Lajnah Ad Daaimah berpendapat, *“Masalah menjauhi istrinya dari tempat tidur lebih dari tiga bulan dilakukan karena pembangkangan istri, yaitu karena kemaksiatan kepada suaminya terhadap apa yang mestinya ia tunaikan dari hak-hak suami-istri. Dan istri tetap membangkang setelah diberikan arahan dan ancaman akan siksa Allah Ta’ala, dan memperingatkannya terhadap kewajibannya dan hak-hak suaminya. Maka bagi suami diperkenankan menjauhinya dari tempat tidurnya sekehendaknya untuk mendidiknya sehingga dia bersedia menunaikan hak-hak suaminya dengan penuh ridha darinya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah menjauhi istri-istri beliau dan tidak masuk ke rumah mereka selama sebulan. Adapun ungkapan ‘Sesungguhnya tidak halal bagi seorang suami menjauhi atau tidak menghiraukan istrinya selama lebih dari tiga hari’, bersumber dari riwayat shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari Anas bin Malik Radliyallahu Anhu sesungguhnya dia berkata :*


ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام 


أخرجه الإمام البخاري ومسلم في صحيحيهما ، وأحمد في مسنده


*“Dan tidak halal bagi seorang muslim tidak bertegur sapa dengan saudara muslim yang lain selama lebih dari tiga hari.”* (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahihnya, dan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya)


*Adapun jika seorang suami menjauhi tempat tidur istrinya melebihi empat bulan dengan tujuan menyakitinya padahal sang istri tersebut tidak lalai dalam melayani suaminya dan memenuhi hak-haknya, maka sesungguhnya hal itu seperti orang yang melontarkan ila’ kepada istrinya meskipun suami tidak mengutarakannya dalam bentuk sumpah, maka hal itu disamakan dengan masa tenggang ila. Maka apabila empat bulan telah berlalu dan suami belum merujuk kepada istrinya dan menjimaknnya padahal dia mampu dan saat itu istri tidak sedang berhalangan seperti sedang Haid maupun Nifas; maka sesungguhnya dia diperintahkan untuk menceraikan istrinya.*


*Adapun apabila dia enggan merujuk istrinya, dan enggan pula untuk menceraikannya, maka hakimlah yang menceraikannya, atau memisahkan sang istri dari suaminya jika memang istri menghendaki yang demikian. Dan hanya Allah-lah yang memberikan Taufiq, dan Shalawat serta Salam Allah senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau.”*


As Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, As Syaikh Abdul Aziz Aalu As Syaikh, As Syaikh Shalih Al Fauzan, As Syaikh Bakar Abu Zaid. Dari kitab.“ (Fatawa Al-Lajnah Ad Daaimah, 20/261-263 )


*Kedua:*


*Apabila suami sedang bepergian atau musafir, sedang istri tidak meridhai kepergiannya selama lebih dari enam bulan, maka hendaknya perkaranya diadukan ke pengadilan agama agar pihak pengadilan kirim  surat perintah kepada suaminya dan mewajibkannya untuk kembali pulang. Jika dia enggan kembali pulang maka hakim berhak memberikan putusan terkait perkara tersebut, apakah sebaiknya dijatuhkan talak ataukah di fasakh (pernikahan dibatalkan) antara keduanya.*


*Safar sang suami dapat karena uzur, seperti kebutuhannya akan harta benda atau pekerjaan karena dia tidak mendapatkan pekerjaan di negaranya, atau karena tidak ada uzur sama sekali. Akan tetapi perbedaan antara kondisi udzur dan sedang tidak ada uzur adalah bahwa suami yang sedang dalam kondisi uzur tidak wajib baginya untuk kembali, dan tidak berdosa jika tidak kembali pulang.*


*Adapun pada saat tidak ada udzur maka wajib bagi suami untuk pulang, dan dia berdosa apabila tidak kembali pulang. Dalam dua kondisi tersebut istri berhak menuntut cerai karena dia mengalami penderitan yang terjadi pada dirinya. Hal ini telah disebutkan sebelumnya pada jawaban soal no.  102311.*


Wallahu A’lam

Tidak ada komentar: